Waspadai kenaikan inflasi di Indonesia yang mulai “aneh” dan tidak wajar
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi year-on-year/yoy pada Juni 2022 sebesar 4,35 persen.
Kenaikan inflasi tahunan di atas angka empat ini merupakan yang tertinggi sejak 2017, juga dikenal sebagai lima tahun terakhir. Kenaikan inflasi tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga volatile food yang mencapai 10,07 persen (year-on-year). Kenaikan harga terjadi akibat hujan deras di wilayah tengah yang mengakibatkan gagal panen dan terganggunya penjualan.
Selain itu, kenaikan inflasi ini juga terjadi di tengah ketidakpastian global akibat perang antara Rusia dan Ukraina dan kenaikan harga minyak mentah.
/ p>Kepala Badan Kebijakan Fiskal Perbendaharaan, Febrio Kacaribu, mengatakan meski inflasi cukup tinggi, Indonesia masih lebih baik dari negara lain. . Selain itu, negara maju memiliki inflasi tertinggi dalam beberapa dekade.
'Dibandingkan dengan banyak negara di dunia, inflasi di Indonesia masih moderat. Tingkat inflasi di AS dan Uni Eropa terus mencatat rekor baru dalam pencapaian masing-masing 8,6 persen dan 8,8 persen selama 40 tahun terakhir,' katanya dalam keterangan resmi, Senin (4/7). Masing-masing mencapai 60,7 persen dan 73,5 persen.
Dia mengatakan inflasi di Indonesia bahkan lebih baik karena berbagai langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi fluktuasi harga komoditas global berhasil.
< / 'Pemerintah telah berhasil melalui perangkat APBN untuk mengurangi tekanan inflasi global yang tinggi, sehingga daya beli masyarakat dan momentum pemulihan ekonomi nasional tetap dapat terjaga,' kata Febrio. Masih bisakah kita dianggap kuat?
Ekonom Pusat Reformasi Perekonomian Nasional (Heartland) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan untuk mewaspadai kenaikan inflasi pada paruh kedua tahun ini. Alasannya: ia mulai mencium tanda-tanda bahwa inflasi mengarah ke stagflasi.
Hal ini terlihat dari kenaikan inflasi tahunan yang tinggi di bulan Juni. Kenaikannya tidak normal atau tidak wajar.
'Inflasi yang tidak wajar merupakan pertanda adanya sinyal stagflasi, yaitu keadaan inflasi yang meningkat tidak disertai dengan peningkatan kesempatan kerja,' kata Bhima kepada CNNIndonesia. com.
Dia mengatakan 11,5 juta pekerja masih terkena dampak pandemi. Jumlah tersebut ia sebutkan sesuai dengan data BPS yang mencatat jumlah penduduk usia kerja yang terdampak pandemi COVID-19 turun 7,57 juta orang pada tahun lalu, sehingga total pada Februari 2022 menjadi 11,53 juta orang. p>
Bhima mengatakan, dengan kondisi tersebut, tekanan inflasi masih bisa terjadi dalam beberapa bulan mendatang. Dia memperkirakan inflasi akan mencapai 4,5-5 persen (yoy) pada akhir tahun.
Risiko terbesarnya adalah inflasi impor, yaitu melemahnya nilai tukar, yang disebabkan oleh berbagai harga. barang-barang rumah tangga meningkat. Selain itu, kebijakan pemerintah yang “memaksa” masyarakat untuk membeli BBM Pertamax dengan menerapkan kebijakan pembelian Pertalit dan solar bersubsidi dengan aplikasi MyPertamina juga dapat memicu kenaikan inflasi.
Tidak hanya itu, penerapan MyPertamina sebagai syarat membeli Pertalit juga bisa menambah jumlah penduduk miskin baru. Ia juga khawatir hal ini akan berdampak pada perlambatan konsumsi rumah tangga yang cukup signifikan.
Perlambatan tersebut justru dirasakan melalui konversi atau migrasi yang dilakukan oleh Komunitas dari Pertamax ke Pertalite saat ini. Pemerintah menaikkan harga beberapa waktu lalu.
'Bayangkan orang miskin harus punya peralatan, beli kredit dulu untuk mendapatkan haknya. Sementara hanya 14 persen terbawah atau rumah tangga miskin yang menggunakan internet, Bhima menambahkan.
Mengenai pernyataan Departemen Keuangan bahwa inflasi di bulan Juni masih moderat, Bhima mengatakan hal itu karena produsen masih menahan harga.
'Dan administered prices atau harga energi bersubsidi tetap dipertahankan oleh pemerintah. . Pada kuartal I 2022, inflasi harga produsen sebenarnya 9 persen year-on-year,' tambahnya.
Oleh karena itu , ia mendesak pemerintah menahan pembatasan subsidi BBM, LPG 3 kg, dan tarif listrik. Apalagi, anggaran negara masih menunjukkan surplus Rp 132 triliun hingga Mei 2022.
Dia gl diragukan bahwa pemerintah dapat menahan subsidi dengan beberapa pilihan. Pertama, alihkan pendapatan tak terduga dari komoditas ke subsidi energi.
Kedua, alihkan sebagian Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang belum ditarik untuk menambah offset bahan bakar dan listrik. Ketiga, menunda proyek infrastruktur yang belum diprioritaskan.
Belum ada Komentar untuk "Waspadai kenaikan inflasi di Indonesia yang mulai “aneh” dan tidak wajar"
Posting Komentar