Mengukur ketajaman strategi peacekeeping RI


Ahmad Khoirul Umam

Dosen Ilmu Politik dan Kajian Internasional di Sekolah Pascasarjana Diplomasi (PGSD) Paramadina, Universitas Paramadina, Jakarta; PhD Ilmu Politik dari University of Queensland, Australia


Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia telah memicu harapan baru untuk gencatan senjata dan pembicaraan damai di tengah konflik Rusia-Ukraina yang semakin berkecamuk dari 3 bulan terakhir. Namun, harapan ideal ini tentu tidak mudah diwujudkan.

Pertemuan Presiden Yokovi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan juga Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tampaknya hanya menjadi jeda dalam pertempuran. Hal ini karena konflik semakin meningkat setelah serangkaian pertemuan antara para pemimpin negara-negara tersebut, ditandai dengan mengintensifkan serangan rudal Rusia ke sejumlah titik aktivitas sipil di Mykolaiv, Odessa, Kremenchuk dan beberapa kota lain di Ukraina.

Langkah pemerintah Indonesia memang patut diapresiasi. Kunjungan Presiden Jokowi ke jantung konflik di Ukraina menunjukkan keberaniannya mengambil risiko besar di tengah perang yang sedang berlangsung. Tentu saja, semua kemungkinan risiko telah diperhitungkan. Informasi rencana kedatangan Presiden Jokowi di Rusia dan Ukraina, yang dirilis jelang KTT G7 di Jerman, dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini armada tempur kedua negara untuk menata ulang dinamika serang-bertahan br>
Sistem peringatan dini dapat bekerja lebih efektif mengingat kehadiran orang nomor satu ini di Indonesia bukan hanya karena hubungan bilateral, tetapi karena berbagi misi dan mandat Kepresidenan G20, klub elit negara-negara kekuatan ekonomi utama yang menghasilkan 80% dari PDB global. Oleh karena itu, keselamatan rombongan Presiden Yokovi adalah bagian dari prioritas yang mengharuskan mereka untuk menghentikan pertempuran sambil mengatur kembali pendekatan operasi militer yang sedang berlangsung Perdamaian Rusia-Ukraina? Ataukah kunjungan safari ke Jerman, Ukraina dan Rusia ini hanya dimaksudkan sebagai gimmick politik untuk mendongkrak daya tawar Indonesia guna menyukseskan agenda forum G20 di Bali pada November 2022? Tentu saja, kedua tujuan ini tidak boleh bertentangan. Karena keduanya merupakan kepentingan politik luar negeri Indonesia. Namun, kedua tujuan tersebut berbeda secara mendasar dalam konteks strategi diplomatik dan karya turunannya.

Jika tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan perdamaian Rusia-Ukraina, strategi diplomatik Indonesia harus menghasilkan argumen yang lebih substantif. dengan menyasar langsung tema utama dan akar sejarah konflik Rusia-Ukraina terkait etnonasionalisme, kalkulasi politik-ekonomi dan kalkulasi pertahanan keamanan. Argumentasi alternatif yang akan menjadi substansi diplomasi akan mendorong dialog intersubjektif antar aktor yang berkonflik, sehingga mengubah persepsi, cara pandang dan perilaku setiap politik luar negeri Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Kyiv dan Moskow masih belum jelas. Bahkan, penekanan narasi dalam pemberitaan lebih terfokus pada hal-hal sepele, seperti pakaian yang dikenakan atau penggunaan meja panjang atau pendek dalam percakapan bilateral.

Memang, strategi diplomatik yang awalnya tampak penting dan menarik disebut hingga Pengembangan dialog antariksa melalui transmisi pesan dari Presiden Zelenskyy kepada Presiden Putin yang mempromosikan perdamaian antara kedua negara, yang kemudian diklarifikasi langsung oleh Kremlin dan Ukraina. Ditilik lebih dekat, materi yang dibicarakan Presiden Yokovi dengan Presiden Putin di Kremlin adalah materi bilateral daripada materi yang mendorong berakhirnya agresi militer Rusia terhadap Ukraina.

Belum ada Komentar untuk "Mengukur ketajaman strategi peacekeeping RI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel